Warganet Pendukung Eks Rejim Assad Ledek Pemerintahan Baru Suriah tak Bergigi
Dalam perkembangan terbaru yang memanas di kawasan Timur Tengah, Pasukan Demokratik Suriah (SDF) Suriah mengumumkan langkah strategis untuk memperkuat pertahanan udaranya di wilayah Rojava. Informasi ini muncul di tengah ketegangan yang meningkat antara SDF dan Damaskus yang belum tuntas.
Pemerintahan Presiden Ahmed Al Sharaa dianggap belum tunduk pada tekanan politik yang diberikan SDF dukungan AS dkk untuk memberikan otonomi kepada SDF sebagai langkah awal untuk separatisme di masa depan.
Keputusan SDF untuk mengerahkan sistem pertahanan udara diduga untuk antisipasi jika Damaskus diperkuat dengan drone ukuran besar dari Turki.
Rojava, wilayah Hasakah yang mayoritas dikuasai oleh kelompok Kurdi yang beraliansi dengan PKK dan sekutunya, menjadi fokus utama dalam dinamika politik dan militer pasca runtuhnya rejim Bashar al-Assad pada Desember 2024.
Runtuhnya rejim tersebut tidak hanya mengubah peta politik Suriah, tetapi juga memaksa berbagai faksi untuk mengevaluasi kembali strategi dan aliansi mereka. Dalam konteks ini, langkah SDF untuk memperkuat pertahanan udaranya dapat dilihat sebagai upaya menekan pemerintahan baru di Damaskus yang belum tunduk sepenuhnya dengan 'gertakan' SDF.
Turki, yang telah terlibat dalam berbagai operasi militer anti terorisme PkK di Suriah sejak 2016, termasuk Operasi Perisai Eufrat, menyerahkan urusan internal Suriah ke Damaskus. Namun Ankara memiliki agenda yang jelas untuk mencegah pembentukan entitas Kurdish yang mandiri di perbatasannya.
Operasi tersebut, yang awalnya menargetkan ISIL, juga berdampak signifikan pada kelompok Kurdish, terutama YPG (Unit Pertahanan Rakyat), cabang PKK di Suriah, yang merupakan tulang punggung SDF. Kehadiran YPG dalam SDF telah menjadi sumber ketegangan berkelanjutan antara Ankara dan Washington, di mana AS mendukung SDF mengimbangi pengaruh Turki dalam upaya untuk memuluskan agenda neokolonialisme Greater Israel di kawasan.
Pertanyaan besar yang muncul adalah dari mana SDF mendapatkan senjata anti-pesawat ini. Ada spekulasi bahwa sistem pertahanan udara tersebut berasal dari sisa-sisa arsenal rejim Assad di Qamishli atau Tabqa. Kedua lokasi ini telah menjadi basis penting bagi berbagai faksi militer sejak pecahnya perang sipil Suriah.
Qamishli, yang terletak di perbatasan dengan Turki, dan Tabqa, yang dekat dengan bendungan strategis, keduanya dikuasai pasukan Rusia dan rejim Assad sebelum lengser. Kini dikuasai SDF bersama Rusia usai pasukan rejim diintegrasikan ke SDF.
Selain itu, ada juga pertanyaan mengenai apakah operator eks pasukan Assad bergabung dengan SDF. Pasca runtuhnya rejim Assad, banyak personel militer yang sebelumnya loyal kepada Assad mencari peluang baru, termasuk bergabung dengan faksi-faksi lokal SDF. Pasukan yang terdiri dari berbagai etnis dan kelompok ini, termasuk Kurdi, Arab, dan lainnya, tapi posisi penting dipegang YPG Kurdi telah menunjukkan fleksibilitas dalam menyerap anggota baru, termasuk mereka yang memiliki pengalaman militer signifikan.
Namun, hingga kini, tidak ada bukti konkret bahwa operator eks pasukan Assad secara massal bergabung dengan SDF, meskipun tidak menutup kemungkinan adanya kolaborasi taktikal di lapangan.
Langkah SDF untuk mengerahkan sistem pertahanan udara tidak terjadi dalam vakum. Konflik di Suriah utara tetap kompleks, dengan berbagai aktor internasional yang terlibat, termasuk Rusia, AS, dan Turki. Rusia, yang sebelumnya mendukung rejim Assad, kini juga memiliki kehadiran militer di Qamishli dan Tabqa, yang dapat mempengaruhi dinamika di lapangan. Kehadiran Rusia di kedua lokasi ini, termasuk pengerahan jet tempur dan kendaraan lapis baja, menunjukkan bahwa Moskow tetap mempertahankan minat strategisnya di wilayah tersebut, meskipun rejim Assad sudah tidak berkuasa.
Di sisi lain, AS, yang telah mendukung SDF sejak lama, juga memiliki agenda sendiri di Suriah. Kehadiran sekitar 900 pasukan AS di Suriah bertujuan untuk memastikan kepentingan Israel di kawasan berjalan dengan mulus.
Di Dewan Keamanan PBB juga melakukan hal yang sama melalui kekuatan veto agar genosida dan pembantaian warga Palestina yang masih berlangsung di Gaza saat ini tidak dihentikan dengan resolusi PBB. AS bermain dua kaki di Suriah. Di satu sisi berharap Suriah akan damai usai lengsernya Assad, namun di sisi lain, agenda Israel juga didukung diam-diam termasuk pembunuhan kepada warga Suriah di wilayah Quneitra di luar Dataran Tinggi Golan yang diduduki Israel secara ilegal.
Dukungan AS kepada SDF sering kali menjadi sumber friksi dengan Turki, yang melihat YPG sebagai ekstensi dari PKK, organisasi yang dianggap teroris oleh Ankara, Washington, dan Uni Eropa. Dalam konteks ini, mengerahkan sistem pertahanan udara oleh SDF dapat dilihat sebagai upaya untuk menjaga keseimbangan kekuatan di wilayah tersebut.
Namun, tantangan besar bagi SDF adalah kapasitas sebenarnya dari sistem pertahanan udara yang mereka miliki. Laporan sebelumnya menyebutkan bahwa sebagian besar sistem pertahanan udara Suriah telah dihancurkan oleh serangan udara Israel pada Desember 2024 di sekitar Damaskus, Hama, Palmyra dan Homs. Hal ini membuat kemampuan SDF lebih kuat dari Damaskus di bidang pertahanan udara karena Israel tak menghancurkan sisa alutsista anti-udara Assad di wilayah SDF.
Aspirasinya untuk membentuk "Kurdistan Suriah" tetap menjadi isu sensitif yang memicu reaksi keras dari Damaskus, walau dalam mewujudkan agenda itu SDF mengaku tidak ingin memisahkan diri dari Suriah. Mereka hanya ingin seperti Kurdistan tetap menjadi bagian Irak meski pernah menggelar referendum merdeka.
Damaskus melihat wilayah Kurdi di Suriah berbeda dengan Kurdistan Iran karena wikayah Raqqa dan Deir Ezzoir mayorita orang Arab, bahkan Hasakah juga mayoritas Arab.
Ankara telah secara konsisten menentang pembentukan negara Kurdi di perbatasannya, melihatnya sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasionalnya. Dalam konteks ini, langkah SDF untuk memperkuat pertahanan udaranya dapat dilihat sebagai langkah defensif untuk melindungi wilayah yang mereka anggap sebagai tanah air mereka, meskipun istilah "Kurdistan Suriah" sendiri tidak secara resmi diakui oleh komunitas internasional.
Sebagai kesimpulan, langkah SDF untuk mengerahkan sistem pertahanan udara di Rojava dan wilayah SDF merupakan upaya menekan Damaskus dalam perundingan di masa depan. Jika Damaskus tak tunduk, maka perang bisa pecah di Timur Suriah dan akan menambah bebas Suriah yang juga 'ditikam' oleh milisi Druze Al Hajri pro Israel di Suwaida dan serangan udara yang masih dilakukan Tel Aviv ke sejumlah lokasi di Suriah.
Meskipun sumber persenjataan ini masih belum jelas, kemungkinan berasal dari sisa-sisa arsenal rejim Assad di Qamishli atau Tabqa tidak dapat diabaikan. Selain itu, meskipun tidak ada bukti konkret, kolaborasi taktikal antara operator eks pasukan Assad dan SDF tetap menjadi kemungkinan di lapangan. Dalam konteks yang semakin kompleks ini, hanya waktu yang akan menjawab apakah langkah ini akan berhasil menekan Damaskus atau justru memicu eskalasi lebih lanjut.
Post a Comment